SEJARAH SINGKAT BUMI PORODISA
(KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD)
Konon
pada zaman dahulu kala, di wilayah bibir pasific ada satu gugusan
kepulauan sejak zaman sebelum masehi telah mengalami masa kejayaan atau
keemasan dimana ketika itu walaupun sistem perdagangan masih
bersifat barter atau apapun sebutannya tetapi wilayah itu sudah
makmur kehidupan masyarakatnya, hingga pada zaman kerajaan Majapahit
wilayah ini merupakan bagian dari kerajaan Majapahit yang bernama
Udamakatraya.
Kepulauan tersebut dalam sebutan lamanya
adalah Maleon (Karakelang), Sinduane (Salibabu), Tamarongge
(Kabaruan), Batunampato (Kepulauan Nanusa) dan Tinonda adalah
Miangas. Perjalanan panjang masyarakat yang mendiami gugusan
kepulauan ini, tidak banyak kita temukan dalam prasasti ataupun
tulisan-tulisan dan artepak-artepak lainnya, akan tetapi banyak hal bisa
di lihat dari peninggalan peninggalan barang keramik dari cina yang
terdapat di kuburan-kuburan tua, atau di gua-gua seperti yang telah
di ungkapkan oleh seorang peneliti dari Ingris berkebangsaan Swiss
yang berdomisili di Australia, yaitu Prof Bellwood. Beliau adalah
seorang dosen terbang dari Universitas Chambera, pada tahun 1974
beliau pernah meneliti wilayah ini, di antaranya Gua Bukit Duanne
Musi, juga di Salurang Sangihe. Hasil penelitian beliau telah di
catat dalam satu tulisan yang di arsipkan di pusat arkeologi
Nasional. Prof Bellwood dalam penelitiannya menemukan benda-benda
yang diperkirakan berusia 6000 tahun sebelum masehi, yaitu
barang-barang keramik, kapak batu dan barang-barang peninggalan lainnya.
Perdagangan
barter dan sistim monopoli perdagangan rempah-rempah oleh
negara-negara Eropa telah membentuk koloni-koloni perdagangan, yang
bertujuan untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah termasuk di wilayah
gugusan kepulauan ini. Bangsa Eropa yang pertama kali tiba
diwilayah ini adalah bangsa Portugis. Portugis telah menjadikan
wilayah kepulauan ini, menjadi wilayahnya agar penguasaan
perdagangan rempah-rempah tidak terganggu oleh pedagang dari China,
Persia, dan Gujarat dari India, maka tanaman sebagai penghasil
rempah-rempah seperti cengkeh, pala dan lainnya di pindahkan
penanamannya dari wilaya ini ke Ternate. Portugis berniat untuk
memusnahkan (dibabat habis) tanaman rempah-rempah dari wilayah ini.
Datanglah masa perjalanan ekspedisi Ferdinand Magelhaens pada tahun
1511-1521 dan tiba di wilayah kepulauan ini dengan seorang kepala armada
perahu layar yaitu Santos, Santos telah terbunuh di Mindanao
Philipines.
Bangsa Spanyol melanjutkan (ekspedisi Ferdinand
Magelhaens) ke kepulauan Ternate dan langsung menjalin hubungan
dengan Sultan Ternate Hairun, bangsa Portugis merasa terusik dengan
kehadiran bangsa Spanyol. Sultan Hairun diundang ke markas Portugis
dan di bunuh, timbulah perlawanan oleh anaknya yakni Sultan Baabulah
dengan dukungan Spanyol, kesultanan ternate telah memperluas
wilayah kekuasaannya hingga ke pulau Papua, Sulawesi dan Mindanao.
Menelusuri
surga dunia yang hilang (paradise) telah jelas pada catatan-catatan
singkat di atas. Paradise hilang oleh karena keserakahan
bangsa-bangsa penjajah/koloni–koloni atau penguasa masa itu. Keserakahan
dalam penguasaan perdagangan rempah-rempah telah ikut menghilangkan
nilai kelangsungan hidup manusia yang menjadi gambaran atau symbol
dari sekelompok orang yang mendiami kepulauan di bibir pacific yang
disebut dengan Paradise atau Surga, firdaus, yang lebih dikenal
dengan nama Porodisa atau gugusan Kepulauan Talaud.
Paradise
adalah nama yang indah yang telah tertanam dalam nilai-nilai
kehidupan pada setiap pribadi atau individu yang luhur sebagai insan
manusia yang meyakini akan sang Maha Kuasa sebagai pencipta lagit dan
bumi, laut dan segala isinya, maka Ia adalah Khalik Semesta Alam,
Tuhan yang menjaga, melindungi, dan memelihara kehidupan manusia
yang berkenan kepadaNya, telah diwarisi secara turun temurun dalam
struktur masyarakat adat yang religius, mengikat tali persaudaraan
dengan cinta kasih terhadap sesamanya juga terpeliharanya alam
lingkungan yang baik untuk mereka hidup.
Tatanan ini
tergambar dalam struktur adat di wilayah kepulauan ini, toko-toko
adat sebagai pola anutan warganya, menjadi teladan dan di junjung
tinggi dalam pengendalian kehidupan sehari-hari warganya, baik sebagai
nelayan maupun petani. Pada musim tanam para toko adat berperan untuk
menentukan musim tanam (“ iamba matitim” dalam bahasa Talaud ) juga
bagi para nelayan dilaut, para toko adat berperan menasehati dan
mengadakan upacara adat, dalam pembuatan alat tangkap seperti sampan
(assan’a/perahu sanpan) maupun jaring. Peranan toko adat selalu
terdepan dalam menampakkan nilai-nilai religiusnya dan di dalamnya
para rohaniawan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
warganya, meskipun telah bertahun-tahun lamanya dan di wariskan
secara turun temurun, baik jaman masa keemasan kemudian datanglah
Portugis, Spanyol, dan Belanda sebagai penjajah tetapi dibalik dari
semua itu kehidupan yang religius dalam masyarakat adat telah
membuka diri dalam aspek kehidupan rohani dari zaman ke zaman, aspek
kehidupan rohani telah menyatu dengan aspek sosial budaya warganya,
sehingga sangat sulit untuk di bedakan bahkan hampir tidak mungkin lagi
dibeda-bedakan. Kehidupan sehari-hari warga yang hidup diwilayah
ini dalam pergulatan hidup dengan bangsa-bangsa Eropa di atas, iman
kepercayaan dan adat Talaud tidak luntur dan goyah, hingga masuk
dalam zaman kemerdekaan Indonesia, dalam sistem kenegaraan demokrasi
pancasila, daerah kecil menjadi kabupaten/kota, Talaud tetap
menjadi bagian dari kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud. Meskipun
dalam konplik international peranan raja Talaud waktu itu Julius
Tamawiwi adalah menjadi putusan akhir dalam sengketa international
antara Philipines (Amerika Serikat) dan Hindia Belanda. Pengadilan
Abitrase oleh seorang arbitrator mahkamah international Max Huber,
telah ditetapkan dan diputuskan bahwa pulau Miangas adalah bagian
dari pulau Talaud karena mereka yang mendiami pulau tersebut adalah
berbahasa Talaud dalam pergaulan kehidupan sehari-harinya, yang
dahulunya disebut Tinonda, seperti yang terungkap dalam syair lagu
daerah Talaud, “Tutamandassa” yang di tulis oleh Johanis Vertinatus
Gumolung (alm).
Tonggak sejarah peradaban warga Paradise telah
dinyatakan kabupaten Kepulauan Talaud resmi berdiri pada tanggal 2
Juli 2002, dengan seorang pejabat negara Drs. F. Tumimbang, sebagai
pejabat bupati kabupaten Kepulauan Talaud. Undang-undang No. 8 tahun
2002 telah menetapkan sebagai daerah otonom, ditindaklanjuti dengan
peraturan daerah No. 2 tahun 2002 tentang hari ulang tahun
kabupaten Kepulauan Talaud yaitu setiap tanggal 2 Juli. Kini timbul
kebingungan dengan terpilihnya seorang bupati yang defenitif dalam
sidang paripurna DPRD kabupaten Kepulauan Talaud, sejak masa itu
penyelenggaraan perayaan hari ulang tahun kabupaten Kepulauan Talaud
dirayakan pada tanggal 19 Juli, sebagai hari ulang tahun jabatan
bupati yang defenitif.
Evert Sandye Taasiringan/kompas
Posting Komentar