Goa Totombatu : Kuburan Sebuah Jejak Sejarah Talaud
Goa Totombatu merupakan sebuah goa batu unik berisi kumpulan tengkorak
manusia, berada di bibir pantai di ujung selatan desa Tarohan, Pulau
Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Gua ini berada di atas sebuah bukit batu kecil setinggi kurang lebih 8
meter, yang menjorok ke arah laut sejauh lima puluh meter. Hal menarik
dari tempat ini adalah struktur batu yang membentuk gua ini sangat
beragam, yaitu terdiri dari bebatuan karang, batuan kapur dan batu-batu
tua yang penuh retakan.
Di antara gugusan yang menjorok itu
terdapat cekungan-cekungan membentuk gua yang beberapa di antaranya
membentuk lobang besar, sehingga bisa dilalui oleh lebih dari satu tubuh
manusia. Di bagian atas struktur bukit batu itu ditumbuhi berbagai
pepohonan dan perdu khas daerah pantai. Pada salah satu kumpulan perdu
rimbun di puncak bukit batu itulah terdapat gua yang menyimpan 33
tengkorak kepala dan tulang-belulang manusia. Dari tempat ini kita bisa
melihat pulau Salibabu, pulau Nusa di tanjung Lobo dan cekungan pelabuhan Beo.
Konon, menurut tuturan penduduk setempat, dahulu kala terdapat sebuah dataran tinggi bernama Tarapahan,
yang artinya gunung sembilan. Di gunung inilah diyakini oleh masyarakat
desa Tarohan sebagai asal muasal suku bangsa Talaud. Namun belum ada
cerita pasti yang mencoba menjelaskan tentang keberadaan kumpulan
masyarakat di dataran Tarapahan ini. Ada yang menyatakan bahwa kumpulan
masyarakat itu merupakan masyarakat migran dari pulau Mangindano, atau Mindanao Filipina.
Sejumlah informasi yang pernah dirangkum Alfred Pontolondo (21/12/2006)
dari beberapa tetua kampung Tarohan (Ayub Taengaten, Maramin Tumpil,
Yosias Muhat, dan Mateos Mangule) mengatakan bahwa orang-orang pertama
yang menghuni Totombatu merupakan generasi kesekian dari penghuni
Tarapahan yang turun ke Totombatu untuk memulai kehidupan baru sebagai
nelayan kira-kira 700 tahun yang lampau. Mereka adalah tiga orang kakak-beradik Alambera, Puasa, dan Papaulla di tambah dengan Tatuhe,
seorang nelayan pendatang dari Mindanao yang bertubuh raksasa. Bersama
istri masing-masing yang berasal dari kampung-kampung di sekitar
Tarohan, mereka kemudian beranak-pinak dan membentuk perkampungan kecil
di kawasan Totombatu.
Saat salah satu anggota dari kumpulan
masyarakat itu meninggal dunia, mereka yang masih hidup kemudian
mengambil kepalanya, diletakkan di atas sebuah piring keramik atau guci
dan kemudian diletakkan di dalam goa batu yang ada di atas bukit batu
yang berada di bibir pantai kawasan Totombatu. Cara peletakan piringpun
berbeda-beda, untuk tokoh masyarakat, piring berjumlah tiga buah dan
diletakkan masing-masing di bawah tengkorak kepala, di bawah tulang
panggul, serta di bawah tulang kaki. Sedang untuk masyarakat biasa
piring hanya satu dan hanya menjadi tempat meletakkan kepala saja.
Taengetan menambahkan, jumlah
tengkorak kepala dan tulang belulang yang ada di dalam goa batu itu
lebih dari 100 buah. Ini berarti ada 100 lebih leluhur yang mati dan
kepalanya diambil untuk diletakkan di goa batu. Salah satu dari sejumlah
besar tengkorak itu berdiameter hampir 50 cm yang diyakini milik
Tatuhe. Namun saat Pontolondo mengunjungi gua tersebut hanya menjumpai
sekitar 33 tengkorak saja dan tidak ditemuka tengkorak raksasa milik
Tatuhe sebagaimana yang diceritakan penduduk setempat. Satu hal yang
menunjukkan tentang keberadaan tengkorak raksasa Tatuhe adalah adanya
ruas-ruas tulang betis dan paha manusia yang memiliki ukuran sekitar 15
cm lebih panjang dari ruas ukuran normal tulang betis dan paha manusia
Indonesia.
Diceritakan bahwa tulang-tulang itu
hilang dari gua karena dicuri orang, dan yang paling besar terjadi di
paruh tahun 1960-an ketika ada sekelompok orang yang mengaku berasal
dari Belanda yang kemudian mengangkut sejumlah benda termasuk sebuah
guci besar yang berisi tengkorak raksasa. Guci dan barang-barang
peninggalan itu menurut Taengetan kemudian di bawa menuju negeri Belanda
dan hingga kini tidak ada informasi lagi yang menjelaskan keberadaan
sejumlah benda yang dicuri itu.
Oleh karena sempitnya kawasan hunian,
penduduk Totombatu dalam kurun waktu 300 tahun berikutnya sejak
kedatangan mereka dari dataran tinggi Tarapahan kemudian menyebar ke
kampung-kampung di pesisir Karakelang. Sedangkan sebagian besar yang
masih tertinggal kemudian berpindah ke arah utara, tepatnya di ujung
selatan kampung Tarohan saat ini, yang dikenal dengan bahasa sastranya
sebagai Maninggungkota.
Pada pertengahan abad 19, penduduk yang berada di Maninggungkota
kemudian berpindah lagi ke dataran yang lebih luas di sebelah utara
hingga kini dan di sebut kampung Tarohan. Disebut Tarohan karena berada
diantara dua sungai. Namun ada versi berbeda tentang nama Tarohan yang
membuka cerita perlawanan rakyat Tarohan kepada Belanda. Dikatakan bahwa
Tarohan berasal dari bahasa Melayu “Taruhan”. Yaitu kampung yang
menjadi taruhan antara Mangenti, raja Tarohan dengan penguasa Kolonial Belanda yang saat itu datang dari arah Melonguanne
dan yang bermaksud mengambil alih kampung Tarohan. Taruhannya adalah,
apabila raja Mangenti tidak dapat memindahkan rakyatnya dari
Maninggungkota dalam kurun waktu empat bulan maka Tarohan akan diambil
oleh Belanda. Akan tetapi raja Mangenti bersama rakyatnya membangun
Tarohan, baik rumah maupun benteng yang mengelilingi Tarohan hanya dalam
waktu 40 hari 40 malam. Tarohan pun bisa bebas untuk sementara dari tangan Belanda.
Penerus raja Mangenti yaitu raja Endang Mentiri
mengikuti jejak pendahulunya untuk tidak berkompromi dengan Belanda. Ia
tidak mau kerajaanya menjadi bagian dari kolonial Belanda. Maka
pemerintah kolonial kemudian mengambil langkah dengan membawa beberapa
pasukan dan serdadunya untuk langsung menangkap raja Endang. Setelah
satu masa persembunyiannya dari pihak Belanda, raja Endang
kemudian tertangkap di hutan dekat dataran Tarapahan setelah Belanda
membujuk ipar raja Endang, yaitu saudara lelaki istrinya untuk
menunjukkan persembunyian raja Endang. Akhirnya ia dibuang ke pulau
Babi, yaitu salah satu pulau berdekatan dengan pulau Nusakambangan.
Dengan satu cara yang tidak di ketahui oleh rakyatnya, raja Endang
akhirnya dapat meloloskan diri dari pulau Babi dan kembali ke Tarohan.
Sesampainya di Tarohan ia kemudian segera menyerahkan tampuk
kekuasaannya ke tangan raja Harun Sarendeng dan ia kemudian mengubah
namanya menjadi Mangule. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan
penyerangan Belanda yang dipimpin Tukunan atas Arangka’a yang dipimpin
oleh raja Larenggam di tahun 1893.
Dengan bergulirnya waktu, Tarohan pun ikut berubah, benteng yang mengelilingi kampung yang dulunya merupakan kota kerajaan kemudian runtuh oleh gempa bumi di tahun 1936 dan disusul tahun 1971. Sementara beberapa senjata kuno hasil peninggalan dari jaman Belanda kini mulai rusak oleh karat, dan disimpan di rumah penduduk setempat. Pada akhirnya sejarah Tarohan, cerita Tarapahan dan Totombatu hanya tersimpan dalam benak para tetua adat dan nyaris hilang bila tidak ada dokumentasi dan kepedulian dari generasi muda Tarohan, pemerintah Talaud maupun masyarakat pecinta budaya di Talaud. Semoga saja kekuatiran ini tidak terjadi, dan cerita tentang Tarapahan, sejarah Tarohan maupun keberadaan Totombatu yang unik dapat dipertahankan dari generasi ke generasi.
Posting Komentar