Selamat datang di Generasi Talaud

Kuburan Sebuah Jejak Sejarah Talaud

Jumat, 11 Juli 20140 komentar

Goa Totombatu : Kuburan Sebuah Jejak Sejarah Talaud

nusa utara sejarah talaud gua totombatu
Goa Totombatu merupakan sebuah goa batu unik berisi kumpulan tengkorak manusia, berada di bibir pantai di ujung selatan desa Tarohan, Pulau Karakelang, Kabupaten Kepulauan Talaud. Gua ini berada di atas sebuah bukit batu kecil setinggi kurang lebih 8 meter, yang menjorok ke arah laut sejauh lima puluh meter. Hal menarik dari tempat ini adalah struktur batu yang membentuk gua ini sangat beragam, yaitu terdiri dari bebatuan karang, batuan kapur dan batu-batu tua yang penuh retakan.

Di antara gugusan yang menjorok itu terdapat cekungan-cekungan membentuk gua yang beberapa di antaranya membentuk lobang besar, sehingga bisa dilalui oleh lebih dari satu tubuh manusia. Di bagian atas struktur bukit batu itu ditumbuhi berbagai pepohonan dan perdu khas daerah pantai. Pada salah satu kumpulan perdu rimbun di puncak bukit batu itulah terdapat gua yang menyimpan 33 tengkorak kepala dan tulang-belulang manusia. Dari tempat ini kita bisa melihat pulau Salibabu, pulau Nusa di tanjung Lobo dan cekungan pelabuhan Beo.
Konon, menurut tuturan penduduk setempat, dahulu kala terdapat sebuah dataran tinggi bernama Tarapahan, yang artinya gunung sembilan. Di gunung inilah diyakini oleh masyarakat desa Tarohan sebagai asal muasal suku bangsa Talaud. Namun belum ada cerita pasti yang mencoba menjelaskan tentang keberadaan kumpulan masyarakat di dataran Tarapahan ini. Ada yang menyatakan bahwa kumpulan masyarakat itu merupakan masyarakat migran dari pulau Mangindano, atau Mindanao Filipina.

Sejumlah informasi yang pernah dirangkum Alfred Pontolondo (21/12/2006) dari beberapa tetua kampung Tarohan (Ayub Taengaten, Maramin Tumpil, Yosias Muhat, dan Mateos Mangule) mengatakan bahwa orang-orang pertama yang menghuni Totombatu merupakan generasi kesekian dari penghuni Tarapahan yang turun ke Totombatu untuk memulai kehidupan baru sebagai nelayan kira-kira 700 tahun yang lampau. nusa utara sastra talaudMereka adalah tiga orang kakak-beradik Alambera, Puasa, dan Papaulla di tambah dengan Tatuhe, seorang nelayan pendatang dari Mindanao yang bertubuh raksasa. Bersama istri masing-masing yang berasal dari kampung-kampung di sekitar Tarohan, mereka kemudian beranak-pinak dan membentuk perkampungan kecil di kawasan Totombatu.

Saat salah satu anggota dari kumpulan masyarakat itu meninggal dunia, mereka yang masih hidup kemudian mengambil kepalanya, diletakkan di atas sebuah piring keramik atau guci dan kemudian diletakkan di dalam goa batu yang ada di atas bukit batu yang berada di bibir pantai kawasan Totombatu. Cara peletakan piringpun berbeda-beda, untuk tokoh masyarakat, piring berjumlah tiga buah dan diletakkan masing-masing di bawah tengkorak kepala, di bawah tulang panggul, serta di bawah tulang kaki. Sedang untuk masyarakat biasa piring hanya satu dan hanya menjadi tempat meletakkan kepala saja.

Taengetan menambahkan, jumlah tengkorak kepala dan tulang belulang yang ada di dalam goa batu itu lebih dari 100 buah. Ini berarti ada 100 lebih leluhur yang mati dan kepalanya diambil untuk diletakkan di goa batu. Salah satu dari sejumlah besar tengkorak itu berdiameter hampir 50 cm yang diyakini milik Tatuhe. Namun saat Pontolondo mengunjungi gua tersebut hanya menjumpai sekitar 33 tengkorak saja dan tidak ditemuka tengkorak raksasa milik Tatuhe sebagaimana yang diceritakan penduduk setempat. Satu hal yang menunjukkan tentang keberadaan tengkorak raksasa Tatuhe adalah adanya ruas-ruas tulang betis dan paha manusia yang memiliki ukuran sekitar 15 cm lebih panjang dari ruas ukuran normal tulang betis dan paha manusia Indonesia.

Diceritakan bahwa tulang-tulang itu hilang dari gua karena dicuri orang, dan yang paling besar terjadi di paruh tahun 1960-an ketika ada sekelompok orang yang mengaku berasal dari Belanda yang kemudian mengangkut sejumlah benda termasuk sebuah guci besar yang berisi tengkorak raksasa. Guci dan barang-barang peninggalan itu menurut Taengetan kemudian di bawa menuju negeri Belanda dan hingga kini tidak ada informasi lagi yang menjelaskan keberadaan sejumlah benda yang dicuri itu.

Oleh karena sempitnya kawasan hunian, penduduk Totombatu dalam kurun waktu 300 tahun berikutnya sejak kedatangan mereka dari dataran tinggi Tarapahan kemudian menyebar ke kampung-kampung di pesisir Karakelang. Sedangkan sebagian besar yang masih tertinggal kemudian berpindah ke arah utara, tepatnya di ujung selatan kampung Tarohan saat ini, yang dikenal dengan bahasa sastranya sebagai Maninggungkota. Pada pertengahan abad 19, penduduk yang berada di Maninggungkota kemudian berpindah lagi ke dataran yang lebih luas di sebelah utara hingga kini dan di sebut kampung Tarohan. Disebut Tarohan karena berada diantara dua sungai. Namun ada versi berbeda tentang nama Tarohan yang membuka cerita perlawanan rakyat Tarohan kepada Belanda. Dikatakan bahwa Tarohan berasal dari bahasa Melayu “Taruhan”. Yaitu kampung yang menjadi taruhan antara Mangenti, raja Tarohan dengan penguasa Kolonial Belanda yang saat itu datang dari arah Melonguanne dan yang bermaksud mengambil alih kampung Tarohan. Taruhannya adalah, apabila raja Mangenti tidak dapat memindahkan rakyatnya dari Maninggungkota dalam kurun waktu empat bulan maka Tarohan akan diambil oleh Belanda. Akan tetapi raja Mangenti bersama rakyatnya membangun Tarohan, baik rumah maupun benteng yang mengelilingi Tarohan hanya dalam waktu 40 hari 40 malam. nusa utara sangihe talaud sitaroTarohan pun bisa bebas untuk sementara dari tangan Belanda.

Penerus raja Mangenti yaitu raja Endang Mentiri mengikuti jejak pendahulunya untuk tidak berkompromi dengan Belanda. Ia tidak mau kerajaanya menjadi bagian dari kolonial Belanda. Maka pemerintah kolonial kemudian mengambil langkah dengan membawa beberapa pasukan dan serdadunya untuk langsung menangkap raja Endang. Setelah satu masa persembunyiannya dari pihak Belanda, raja Endang kemudian tertangkap di hutan dekat dataran Tarapahan setelah Belanda membujuk ipar raja Endang, yaitu saudara lelaki istrinya untuk menunjukkan persembunyian raja Endang. Akhirnya ia dibuang ke pulau Babi, yaitu salah satu pulau berdekatan dengan pulau Nusakambangan.

Dengan satu cara yang tidak di ketahui oleh rakyatnya, raja Endang akhirnya dapat meloloskan diri dari pulau Babi dan kembali ke Tarohan. Sesampainya di Tarohan ia kemudian segera menyerahkan tampuk kekuasaannya ke tangan raja Harun Sarendeng dan ia kemudian mengubah namanya menjadi Mangule. Peristiwa ini terjadi bersamaan dengan penyerangan Belanda yang dipimpin Tukunan atas Arangka’a yang dipimpin oleh raja Larenggam di tahun 1893.

Dengan bergulirnya waktu, Tarohan pun ikut berubah, benteng yang mengelilingi kampung yang dulunya merupakan kota kerajaan kemudian runtuh oleh gempa bumi di tahun 1936 dan disusul tahun 1971. Sementara beberapa senjata kuno hasil peninggalan dari jaman Belanda kini mulai rusak oleh karat, dan disimpan di rumah penduduk setempat. Pada akhirnya sejarah Tarohan, cerita Tarapahan dan Totombatu hanya tersimpan dalam benak para tetua adat dan nyaris hilang bila tidak ada dokumentasi dan kepedulian dari generasi muda Tarohan, pemerintah Talaud maupun masyarakat pecinta budaya di Talaud. Semoga saja kekuatiran ini tidak terjadi, dan cerita tentang Tarapahan, sejarah Tarohan maupun keberadaan Totombatu yang unik dapat dipertahankan dari generasi ke generasi.
Share this article :

Posting Komentar

 
Copyright © 2015. Generasi Talaud - All Rights Reserved
Proudly powered by Blogger